Dua hari yang lalu, saya menghadiri acara Gala Premiere film yang disponsori oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia berjudul “Suara April”. Film ini dibuat dengan tujuan mengajak generasi milenial untuk turut meramaikan pesta rakyat, pesta politik, PEMILU Presiden pada 17 April 2019 pekan depan.
Film ini menyuguhkan latar sebuah desa yang masyarakatnya bersikap apatis dengan politik. Mereka lebih memilih datang setiap hari untuk berjoget di depan panggung seorang biduan dangdut, dibandingkan dengan hadir satu kali sehari untuk memilih salah satu calon pemimpin daerah. Namun, yang saya tilik justru keapatisan mereka sebenarnya adalah hasil “politik” dari salah satu tetua desa yang ternyata memiliki kenangan masa lalu buruk dan berdampak akan keputusannya membuat kebijakan baru di desa tersebut untuk tidak terlibat dalam pemilihan wakil rakyat.
Adalah seorang relawan yang datang ke desa tersebut guna mengubah cara pandang dan pikir dari warga desa agar mau berpartisipasi dalam pemilu. Berbagai cara dilakukan, penetrasi ke tetua desa, menyebarkan selebaran di acara dangdut, dan datang ke sekolah untuk penyuluhan. Pada film ini juga diceritakan bahwa sekolah yang didatangi akan ditutup dikarenakan biaya operasional yang sangat tinggi namun pendapatan yang tidak memadai. Hal ini membuat guru dan kepala sekolah berpikir keras bagaimana cara agar sekolah tak jadi ditutup. Salah satu guru kemudian berinisiatif untuk mendatangi salah satu calon wakil rakyat dan memohon agar salah satu janji politiknya untuk memajukan pendidikan menjadi satu jembatan agar sang calon mau membantu sekolah agar tidak jadi tutup. Sub cerita ini menurut saya sangatlah ironis, bukankah pendidikan merupakan tugas pemerintah pusat? Mengapa sang guru justru mencari calon baru alih-alih mendatangi pemimpin desa yang sedang bertugas saat itu?
Relawan demokrasi, begitu sebutannya. Dia mendatangi sekolah, menjelaskan analogi puzzle sebuah negara yang apabila satu bagiannya hilang maka tidak akan menjadi utuh. Pun sama dengan suara, apabila ada suara yang tidak tersalurkan, makan hasil pemilu akan menjadi berlubang, tidak utuh. Sungguh, saya merasa bukan ini seharusnya yang disampaikan menjadi bahan penyuluhan. Siswa semestinya diberikan penyuluhan tentang pendidikan politik. Apa itu politik? Apa manfaatnya? Bagaimana politik bekerja? Siapakah kita dalam politik? Dan siapakah calon-calon wakil yang namanya terpampang dalam kertas pemilu? Apa saja janji-janji kebijakannya apabila menjabat? Sesungguhnya kita butuh itu, dan bukan hanya sekedar mencolok saja kertas karena kita harus memilih.
Saya selalu memiliki pertanyaan yang terngiang-ngiang. Kenapa pendidikan politik tidak diajarkan sedari dini? Kita hanya mempelajarinya saat mau menjabat menjadi ketua osis, atau sekedar ketua kelas. Tapi tanpa sadar kita tidak mengerti sama sekali tentang substansi pemilihan. Kebanyakan kita memilih karena kita suka, karena dia kerabat dan teman kita, karena asal saja memilih.
Saya sangat berharap agar pemilu di Indonesia menjadi lebih cerdas dari tahun ke tahun. Kebohongan janji politik diminimalisir, KPI Pemimpin dibeberkan secara gamblang, jadi rakyat tidak termakan isu-isu hoax.
Selamat berpesta!
#politik #pemilu #suaraapril #kpu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Shalat Gerhana
Hari ini tanggal 20 April 2023 pukul setengah 11 pagi, kami merasakan fenomena gerhana matahari hibrid dari cincin sampai total. Fenomena ge...
-
Halo semuanya? Semoga kabar kalian semua baik-baik saja ya. Dalam kesempatan kali ini, aku akan membuat satu resensi dari ketiga...
-
Assalamualaikum, Semoga puasanya lancar semua ya :) Hari ini aku mau menuliskan tentang peranan rasa sakit (pain). Sehari-hari kita pasti ke...
-
Hari ini tanggal 20 April 2023 pukul setengah 11 pagi, kami merasakan fenomena gerhana matahari hibrid dari cincin sampai total. Fenomena ge...
No comments:
Post a Comment